Pernikahan adat Jawa merupakan salah satu tradisi yang kaya akan makna dan filosofi, diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Rangkaian prosesi yang dijalani memiliki tujuan tersendiri, mulai dari memohon restu semesta, membersihkan diri, hingga penyatuan dua insan dalam ikatan suci. Memahami urutan prosesi pernikahan adat Jawa bukan hanya sekadar mengikuti tahapan, tetapi juga menyelami nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Artikel ini akan memandu Anda secara lengkap, mulai dari siraman sebagai simbol penyucian diri, hingga panggih sebagai puncak dari pertemuan kedua mempelai. Mari kita jelajahi kekayaan budaya ini bersama.
Siraman: Penyucian Diri Menuju Kesucian Jiwa
Prosesi siraman menjadi pembuka rangkaian pernikahan adat Jawa, menandai dimulainya persiapan spiritual dan fisik bagi kedua mempelai. Upacara ini umumnya dilaksanakan beberapa hari sebelum hari pernikahan, bertempat di kediaman masing-masing mempelai. Makna utama dari siraman adalah penyucian diri, baik secara lahir maupun batin. Air yang digunakan biasanya berasal dari tujuh sumber mata air yang berbeda, melambangkan kesegaran, kemurnian, dan harapan agar kehidupan pernikahan kelak senantiasa dilimpahi keberkahan.
Secara simbolis, prosesi ini juga merupakan upaya untuk membersihkan diri dari segala macam kesialan, aura negatif, dan hal-hal yang tidak baik. Kedua orang tua akan memimpin upacara ini, diikuti oleh beberapa kerabat dekat yang dianggap suci dan memiliki niat baik. Setelah disirami, mempelai akan berganti pakaian dengan busana yang bersih dan suci, sebagai lambang dimulainya lembaran hidup baru yang lebih baik. Prosesi ini penuh dengan rasa haru dan doa, menciptakan momen intim antara orang tua dan anak sebelum melepas mereka ke kehidupan baru.
Midodareni: Malam Penuh Harapan dan Doa
Midodareni adalah malam sebelum hari pernikahan, yang memiliki makna penting dalam tradisi Jawa. Malam ini adalah waktu di mana calon pengantin wanita tidak diperbolehkan bertemu dengan calon pengantin pria. Sesuai namanya, ‘widodari’ berarti bidadari, maka diharapkan calon pengantin wanita akan tampil secantik bidadari di hari pernikahannya. Pada malam midodareni, calon pengantin wanita akan didandani dengan busana khusus dan dirias dengan riasan tradisional Jawa. Ia akan duduk di kamar khusus, ditemani oleh keluarga dekat dan kerabat wanita.
Keluarga mempelai pria juga biasanya akan berkunjung pada malam ini, membawa berbagai macam seserahan dan bingkisan sebagai tanda permohonan restu. Kunjungan ini menjadi kesempatan bagi kedua keluarga untuk lebih saling mengenal dan mempererat tali silaturahmi. Inti dari midodareni adalah doa dan harapan dari keluarga, serta penyemangat bagi calon pengantin wanita untuk menjadi pribadi yang bijaksana dan berbakti dalam rumah tangga kelak. Suasana pada malam ini penuh dengan kehangatan, tawa, dan tentu saja, doa-doa terbaik untuk masa depan kedua mempelai.
Ijab Qabul dan Akad Nikah: Ikatan Suci di Hadapan Tuhan
Bagian terpenting dalam setiap pernikahan adalah prosesi pengesahan ikatan suci, yang dalam adat Jawa seringkali diawali dengan ijab qabul bagi umat Muslim atau pemberkatan bagi pemeluk agama lain. Prosesi ini merupakan pengakuan sakral atas cinta dan komitmen kedua mempelai di hadapan Tuhan dan seluruh saksi. Ijab qabul merupakan inti dari pernikahan dalam Islam, di mana wali nikah mempelai wanita mengucapkan ijab (akad nikah) dan mempelai pria mengucapkan qabul (penerimaan).
Dalam konteks pernikahan adat Jawa, ijab qabul atau pemberkatan menjadi fondasi utama sebelum dilanjutkan dengan upacara adat lainnya. Prosesi ini biasanya dilaksanakan di tempat yang dianggap sakral, seperti masjid, gereja, atau di rumah dengan dipimpin oleh tokoh agama yang berwenang. Setelah ikatan secara agama diresmikan, barulah tradisi adat Jawa lainnya akan dijalankan. Kesakralan momen ini tidak hanya terletak pada ritualnya, tetapi juga pada janji setia yang diucapkan kedua mempelai untuk saling mencintai, menghormati, dan membangun keluarga.
Panggih: Pertemuan Dua Jiwa Menjadi Satu
Panggih adalah puncak dari seluruh rangkaian prosesi pernikahan adat Jawa, yang melambangkan pertemuan dua jiwa yang kini telah bersatu. Upacara ini biasanya dilaksanakan setelah ijab qabul atau pemberkatan. Kata ‘panggih’ sendiri berarti bertemu. Dalam upacara ini, kedua mempelai yang telah resmi menjadi suami istri akan dipertemukan untuk pertama kalinya dalam status baru mereka. Berbagai simbol dan ritual dilakukan untuk menegaskan penyatuan dan harapan kebahagiaan rumah tangga.
Beberapa ritual penting dalam panggih antara lain adalah:
- Balangan Gendhis: Mempelai pria melemparkan beras kuning ke arah mempelai wanita. Ini melambangkan cinta dan harapan agar kehidupan rumah tangga dilimpahi rezeki yang melimpah.
- Bobot Timbang: Mempelai wanita duduk di pangkuan mempelai pria, yang kemudian akan mengangkatnya. Ini melambangkan kesetaraan dan saling menghargai dalam rumah tangga.
- Ngidak Endhog: Mempelai pria menginjak telur, yang kemudian dibersihkan oleh mempelai wanita. Ini melambangkan kesuburan dan harapan untuk memiliki keturunan.
- Sungkeman: Kedua mempelai bersujud di hadapan orang tua untuk memohon restu dan maaf. Momen ini sangat emosional dan penuh makna.
Setiap gerakan dan benda yang digunakan dalam panggih memiliki filosofi mendalam tentang harmoni, kesetiaan, dan kelangsungan keturunan. Pakaian adat yang dikenakan kedua mempelai juga memiliki arti simbolis tersendiri, memperkaya makna visual dari penyatuan dua keluarga.
Menelusuri urutan prosesi pernikahan adat Jawa dari siraman hingga panggih memberikan kita pemahaman yang lebih dalam tentang kekayaan budaya bangsa Indonesia. Setiap tahapan, mulai dari pembersihan diri secara spiritual dan fisik dalam siraman, malam penuh harapan dan doa saat midodareni, pengesahan ikatan suci dalam ijab qabul atau pemberkatan, hingga puncak penyatuan dua insan dalam upacara panggih, semuanya sarat akan makna dan filosofi. Rangkaian ini tidak hanya sekadar seremoni, tetapi juga merupakan pedoman dan doa agar pernikahan yang dijalani senantiasa dilimpahi keberkahan, kebahagiaan, dan langgeng hingga akhir hayat. Memahami dan menghargai tradisi ini adalah bentuk pelestarian warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Image by: afiful huda
https://www.pexels.com/@afiful-huda-106559306







